Sabtu, 17 Juli 2021

Yo

 Sabtu pekan lalu sebelum tulisan ini di upload. Saya baru saja pulang dari sebuah pertemuan dengan teman yang saya kenal dari sosial media, Instagram. Berawal dari saya yang saat itu sedang mencari info tentang tips-tips cara lolos beasiswa NTB, saya menemukan blog seorang pelajar yang kebetulan menceritakan pengalamannya saat mengikuti beasiswa NTB dulu. Namanya Kurnia Zulhandayani tapi saya lebih sering memanggilnya dengan sebutan Kak Nia.

Sebenarnya saat itu saya sudah lolos tahap wawancara dan tinggal mengurus berkas-berkas yang mesti dikirim. Namun, kampus saya yang bekerja sama dengan LPP NTB selaku penyedia beasiswa menyarankan agar mahasiswa yang kelak studi ke Malaysia untuk mengikuti test MUET, semacam TOEFL/IELTS tapi versi yang dibuat oleh Malaysia.

Jujur saat itu saya sangat kekurangan referensi untuk belajar Muet. Saya mencari buku “cara belajar MUET” hampir  di setiap platform marketplace yang ada, namun hasilnya nihil.

Sampai akhirnya saya teringat dengan blog mahasiswi asal Lombok tersebut.

Oh ya, kenapa saya ga coba DM dia aja ya, siapa tahu dia punya bukunya.

mulailah saya ber-“gerilya” mencari sosial medianya menggunakan nama orang tersebut sebagai  keyword. Kebetulan saya mulai dari Instagram.

Nah ini dia, kayaknya ini dah.

Saya mem-follow akun  Instagram nya.

Sebagai orang yang jarang DM di akun IG, apalagi dengan orang yang tidak akrab secara personal. Saya mulai pusing sendiri. Gimana cara saya  menulis pesan agar terdengar friendly dan  tidak keliatan sok asik.

Mulailah saya berpikir merangkai beberapa kalimat pembuka seperti

“Selamat malam, perkenalkan nama saya Rizki…”

 “Assalmualaikum kak Nia, perkenalkan nama saya Rizki salah satu penerima beasiswa…”

Sampe yang ga banget kayak “Hay, ini Nia yang kuliah di Malaysia ya?. Kenalin  aku Rizki, aku udah liat blogmu lohh.”. Sampe disini  saya malah keliatan seperti om-om hidung belang yang lagi berburu daun muda.

Saya akhirnya menulis pesan dengan pilihan kedua yang tidak keliatan terlalu formal namun bersahabat.

“Waalaikumsalam, Whatsapp aja ya dek ini nomornya…” balas Kak Nia

Respon yang saya dapat ternyata sangat baik. Kak Nia adalah orang yang sangat terbuka dan mau menjawab DM saya dan langsung memberikan nomor Whatsappnya tanpa ragu. Saya juga heran, saya kira pertanyaan saya bakal di balas via DM saja.

Akhirnya kami saling bertukar pesan lewat Whatsapp. Saya bertanya mengenai buku yang Kak Nia gunakan dan apa tips-tips ia saat menghadapi tes MUET dulu.

Dari situ saya mulai paham kalau MUET sendiri hampir sama seperti IELTS namun ada sesi diskusi grup didalamnya yang membuatnya terlihat berbeda. Saya disarankan untuk menonton Youtube untuk sesi diskusi tersebut agar  mengetahui lebih jelas. Setelah berbalas pesan satu sama lain, kami sempat tidak berbalas pesan untuk beberapa waktu, hanya melihat status masing-masing.

Sampai suatu ketika

“Dek,  boleh kak nia pinjem bukunya Raditya Dikanya? Rizki tinggal dimana?”

Chat dari seseorang yang saya beri nama “Kak Nia Dosen” itu masuk ke Whatsapp saya.

Kebetulan kak Nia adalah salah satu orang yang menggemari novel Raditya Dika. Dia pernah membaca buku Manusia Setengah Salmon dan mengetahui jika saya memiliki kumpulan buku Radit dari status Whatsapp yang saya bagikan.

“Saya tinggal di Dasan Cermen kak” Jawab saya.

“Waduh jauh ya. Thanks infonya” Balas kak Nia, yang seperti mengurungkan niat untuk meminjam buku koleksi Raditya Dika saya.

Kebetulan sekali saat itu saya ingin mengurangi barang-barang yang sudah tidak saya pakai lagi dan opsinya saat itu ada 2. Menjual buku-buku itu atau menyumbangkannya. Chat dari Kak Nia tersebut membuat saya berpikir sepertinya lebih baik buku ini saya kasih ke dia saja.

“Kak Nia tinggal dimana? Kalau mau bisa saya kirimin bukunya kak.”

“MasyaAllah kebetulan banget ya, hehehehe” Balas kak Nia tampak antusias.

“Kak Nia ngekos di sekitar Dasan Agung biar deket kalau ke Unram” lanjut Kak Nia.

Setelah percakapan tadi, kami memutuskan untuk bertemu. Karena jarak rumah saya dengan kos-kosan Kak Nia yang lumayan jauh,  kami berdua sepakat untuk mencari titik tengah yaitu di tempat kami mendaftar beasiswa dulu, rumah Bahasa LPP NTB di hari sabtu pukul 13.00 WITA.

****

Sabtu pagi harinya, Kak Nia mengingatkan kembali soal pertemuan hari itu

“Dek, nanti kalo jadi kabari ya”

“Siap kak nia. Oh ya kak. Nanti sepertinya saya ga pake pakaian yang formal2 banget, saya pake kaos sama celana pendek aja, soalnya celana Panjang saya udah pada ga muat hehehehe”

“Oke santai aja dek, ini weekend juga. Oh ya nanti kalau udah otw kabari aja ya” Balas kak Nia menutup percakapan.

Sebelum berangkat menuju lokasi pertemuan, saya mulai menyiapkan buku-buku yang sudah dijanjikan untuk saya berikan ke kak Nia. Saya mulai mengeluarkan tumpukan buku-buku dari dalam kardus tempat saya menyimpannya. Sambil memilah mana saja buku yang kak nia inginkan.

Mata saya tertuju pada satu buku Raditya Dika yang berjudul Radikus Makankakus, entah angin apa yang membuat saya langsung merasakan nostalgia dan secara impulsif membuka buku tersebut. Lembar demi lembar saya buka, senyum tipis adalah reaksi pertama saat saya menemukan jokes yang ada di buku tersebut, sampai pada jokes tentang tabib yang bangga karena di bilang mirip aktor Anjasmara oleh warga, tapi ternyata anjasmara yang dimaksud adalah pemain topeng monyet gang sebelah.

Man dulu sengebet itu saya pengen ngikutin jejak orang ini. Menjadi  penulis buku komedi.

Buru-buru saya masukan buku-buku tersebut sambil mempersiapkan diri untuk pergi setelah melihat jam udah semakin mendekati pukul 13.00 WITA.

****

Singkat cerita saya sudah sampai di Taman Sangkareang, sambil duduk sebentar ditemani Yoga, teman yang mengantar saya ketemu kak Nia. Saya memperhatikan kantong kresek hitam yang terdapat buku-buku radit tersebut. Kami mencari tempat teduh di depan halaman tepat disebelah kantor rumah bahasa. Sambil menunggu kak Nia datang, saya merenung sebentar, sesekali melihat pepohonan hijau yang mengitari Taman Sangakareang. Terkadang ke arah trotoar melihat manusia yang sibuk dengan aktivitasnya.  Pandemi membuat tempat yang biasanya ramai di akhir pekan tersebut seperti tidak ada kehidupan sama sekali, hanya beberapa kendaraan yang lewat di depan kami. Sedih.

Saya melihat Yoga yang sedang asik bermain black desert dihapenya. Serius sekali mukanya. Model orang yang bakal ga nyambung diajak ngomong kalo lagi seru gitu. Buru2 saya palingkan pandangan saya ke arah jalan lagi sebelum Yoga menyadari dan kita saling bertatapan. Bagi saya ga ada yang lebih menggelikan daripada dua orang pria normal berusia seperempat abad saling tatap-tatapan selama beberapa detik tanpa berbicara sepatah katapun.

Tidak sampai 5 menit sejak kedatangan saya, dari kejauhan tampak motor matic datang. Seorang Wanita muda mengenakan hijab cokelat menuju arah saya. Kita saling kontak mata dan sepertinya dia paham bahwa saya adalah Rizki, orang yang ia chat td. Wanita itu lalu turun dari motor maticnya yang ber nomor plat bali tersebut.

Saya berdiri dan menghampiri Wanita tersebut “ Kak Nia?” Tanya saya,  sambil menaikan jari telunjuk, menebak.

Wanita itu membalas “ Rizki? Finally kita meet in person ya” dengan nada antusias, terlihat dari matanya yang tersenyum walau saat itu ia mengenakan masker berwarna hitam.

“hehehe, iya kak nia, ini bukunya” saya memberikan kantong kresek hitam itu ke Kak Nia.

“Wih, thank you ya” jawab kak Nia tampak senang sambil melihat ke arah dalam kantong kresek tersebut.

Sambil memegang plastik itu Kak nia mulai berbicara

“Gimana Rizki, kapan jadi berangkat?” kata kak nia membuka topik pembicaraan

“Mungkin septermber ini kak, soalnya kita harus karantina dulu di KL 2 Minggu”
“oh really? Asdfghjkl….”

Entah secara ga sadar atau Kak nia yang menganggap skill Bahasa inggris saya cukup baik. Ia berbicara full Bahasa inggris dalam satu kalimat. Sebagai orang yang akan berkuliah di kampus dengan Bahasa pengantar English dan tidak ingin keliatan bego-bego amat didepan dosen muda, cantik dan berpendidikan ini. Saya ikut membalas perkataan kak Nia dengan Bahasa inggris juga. Iya kali saya jawab pake Bahasa Indonesia.

“Y-Y-Yes, Kak nia”

Kayaknya saya mesti belajar lagi.

Oke, sebenernya saya paham Bahasa inggris dan jika disuruh berbicara pun pasti bisa. Tapi level Bahasa inggris saya masih berada pada tingkat dimana  saat saya ingin mentrasfer kalimat yang sudah saya translit di otak dan mengolahnya menjadi kalimat utuh dalam Bahasa Inggris di mulut, maka sudah bisa dipastikan struktur kalimat yang keluar akan menjadi berantakan. Pernah  di suatu momen saya melihat kak Nia memposting status whatsapp. Mungkin karena insting seorang pengajarnya lagi bangkit saat itu, dia memperbaiki sebuah kalimat dari seseorang yang mengucapkan kata pengantar tidur yang kebetulan ditulis dalam Bahasa inggris.

“Harusnya pake has bukan have, karena pake Nia” Tulis kak Nia dipercakapan whatsapp yang ia jadikan status.

Sebelum kak Nia terbawa suasana dan mulai berbicara pakai Bahasa inggris kembali. Saya langsung berinisatif berbicara duluan.

“Saya udah dapat offer kak dari kampus, conditional offer, harus tes muet juga”

Plis plisss jangan jawab pake Bahasa inggris

“Iya, setau Kak Nia gitu kayaknya. Semuanya begitu” Jawab kak Nia

Fyuh

Saya udah tegang duluan, kehabisan ide gimana cara hindarinnya. Jaga-jaga kalo Kak Nia masih pake Bahasa inggris juga, masak iya saya harus pura-pura kesurupan. Selain ga logis dan ga keren, pria dewasa obesitas teriak2 gerus tanah sambil mengaung tidak tampak sangar sama sekali. Daripada keliatan seperti macan, mungkin saya lebih mirip babi hutan yang lepas kendali.

“Awalnya saya kira biayanya Muetnya ditanggung kak, ternyata bayar sendiri hehehe” kata saya, melanjutkan.

“Iya dek, emang kita harus bayar sendiri. Kak Nia juga dulu bayar buat tesnya”

“Biayanya berapa ya kak?”

“Biayanya sekitar satu juta lima ratus” kata kak Nia, sambil mengangguk tipis, mengiyakan.

Setelah percakapan singkat tadi, kak Nia mulai menceritakan sedikit pengalamannya saat masih studi S2 di Malaysia dulu. Mulai dari cara bagaimana ia menyiasati  saat akan mengambil uang di ATM. Karena, menurut kak Nia biaya sekali penarikan bisa sampai 60 ribu rupiah dan ia menyarankan agar mencari teman yang mau menukarkan mata uang rupiah dengan ringgit. Katanya lebih menguntungkan dengan cara itu. Lalu kak Nia juga memberi tahu bagaimana cara agar saya bisa lulus dalam waktu yang ditetapkan pemberi beasiswa.

Tidak terasa udah hampir 10 menit saya dan kak Nia berbicara, sampai lupa bahwa saya juga harus ketempat teman setelah itu.

“Aduh, kak Nia, maaf banget saya harus pergi ke temen sekarang” Kata saya

“oh, iya ga apa-apa dek. Kak Nia juga habis ini mau ke tempat sepupu” Jawab kak Nia, memaklumi.

Setelah itu Kak Nia izin pamit lebih dulu, ia menaiki motor maticnya dan memutar balik di jalan satu arah tersebut dan pergi meninggalkan saya. Punggung Kak Nia semakin mengecil dari kejauhan dan menghilang diantara motor dan mobil yang berada di sampingnya.

Makasih semesta, karena sudah mempertemukan saya dengan orang sebaik Kak Nia. Semoga kita bisa bertemu kembali, suatu saat nanti.

****

Entah ada yang mengganjal sejak pertemuan siang hari itu. Ada rasa yang aneh di dalam dada saya. Seperti lubang hitam yang siap menyedot planet-planet disekitarnya. Saya membuka kembali blog yang telah lama saya tinggalkan. Tulisan-tulisan seorang Rizki yang kala itu masih berusia 20 tahun. Seorang Rizki yang sudah mengubur impiannya untuk  menjadi seorang penulis. Seorang Rizki yang saat itu, dengan segala kenaifannya, ingin  mengikuti jejak idolanya.

Saya merenung, melihat ke arah langit yang sudah mulai berwarna jingga dari lantai 2 rumah saya. Saya membuka radityadika.com untuk melihat kembali tulisan-tulisan konyol seorang Raditya Dika. Namun, yang saya temukan adalah tampilan beranda Youtubenya. Blognya sudah tidak ada. Lalu percobaan lainnya, saya membuka website milik Arief  Muhammad, poconggg.com, yang ternyata domain dan hostingnya sudah kadaluarsa dan shitlicious.com blog milik Alitt Susanto yang terakhir memposting tulisannya pada tahun 2018.

Aneh aja rasanya, para penulis idola saya sudah mulai meninggalkan blog untuk menuju kanal yang baru. Sedangkan saya, disabtu sore itu, mencoba untuk memikirikan konsep blog yang akan saya sajikan nantinya. Entah mereka yang sudah move on atau saya yang terlalu bodoh untuk diam di titik ini. .

Saya terdiam beberapa saat sambil menatap layar monitor.

Bersamaan dengan angin ringan yang berhembus di sabtu sore itu saya tersadar. Kenapa saya ga jadikan blog ini sebagai random digital diary saya aja, yang tiap pekan, di hari sabtu, saya upload. Entah tulisan pengalaman random, pemikiran saya terhadap sesuatu, puisi, atau bisa juga cerita pendek dan bersambung. Dimana suatu saat nanti, saat saya udah tua dan ga asik diajak bercanda lagi, saya bisa kembali ke blog saya dan melihat perkembangan emosional saya di usia remaja dan dewasa awal dulu. Saya jadi ingat. Haruki Murakami, novelis yang memiliki karya mendunia seperti Kafka on the shore, Norwegian Wood, 1Q84 barumulai menulis novel pertamanya kala ia berusia 29 tahun. Bahkan, pada saat itu ia tidak memiliki pengalaman menulis sama sekali dan tidak pernah menciptakan karya apapun. Hidetaka Miyazaki, Direktur Fromsoftware sekaligus orang  yang bertanggung jawab melahirkan banyak gim keren seperti Souls Series, Bloodborne dan Sekiro baru terjun di industri gim saat ia berusia 29 tahun.

Untuk itu, tidak ada alasan bagi saya untuk berhenti.

0 comments:

Posting Komentar

Komentar Chillies Family