Sabtu pekan lalu sebelum tulisan ini di upload. Saya baru saja pulang dari sebuah pertemuan dengan teman yang saya kenal dari sosial media, Instagram. Berawal dari saya yang saat itu sedang mencari info tentang tips-tips cara lolos beasiswa NTB, saya menemukan blog seorang pelajar yang kebetulan menceritakan pengalamannya saat mengikuti beasiswa NTB dulu. Namanya Kurnia Zulhandayani tapi saya lebih sering memanggilnya dengan sebutan Kak Nia.
Sebenarnya saat itu saya sudah lolos tahap wawancara dan tinggal mengurus berkas-berkas yang mesti dikirim. Namun, kampus saya yang bekerja sama dengan LPP NTB selaku penyedia beasiswa menyarankan agar mahasiswa yang kelak studi ke Malaysia untuk mengikuti test MUET, semacam TOEFL/IELTS tapi versi yang dibuat oleh Malaysia.
Jujur saat itu saya
sangat kekurangan referensi untuk belajar Muet. Saya mencari buku “cara belajar
MUET” hampir di setiap platform marketplace
yang ada, namun hasilnya nihil.
Sampai akhirnya saya
teringat dengan blog mahasiswi asal Lombok tersebut.
Oh ya, kenapa saya ga coba
DM dia aja ya, siapa tahu dia punya bukunya.
mulailah saya
ber-“gerilya” mencari sosial medianya menggunakan nama orang tersebut sebagai keyword. Kebetulan saya mulai dari
Instagram.
Nah ini dia, kayaknya ini
dah.
Saya mem-follow akun Instagram nya.
Sebagai orang yang jarang
DM di akun IG, apalagi dengan orang yang tidak akrab secara personal. Saya
mulai pusing sendiri. Gimana cara saya menulis
pesan agar terdengar friendly dan tidak keliatan sok asik.
Mulailah saya berpikir
merangkai beberapa kalimat pembuka seperti
“Selamat malam,
perkenalkan nama saya Rizki…”
“Assalmualaikum kak Nia, perkenalkan nama saya
Rizki salah satu penerima beasiswa…”
Sampe yang ga banget
kayak “Hay, ini Nia yang kuliah di Malaysia ya?. Kenalin aku Rizki, aku udah liat blogmu lohh.”. Sampe
disini saya malah keliatan seperti om-om
hidung belang yang lagi berburu daun muda.
Saya akhirnya menulis
pesan dengan pilihan kedua yang tidak keliatan terlalu formal namun bersahabat.
“Waalaikumsalam, Whatsapp
aja ya dek ini nomornya…” balas Kak Nia
Respon yang saya dapat
ternyata sangat baik. Kak Nia adalah orang yang sangat terbuka dan mau menjawab
DM saya dan langsung memberikan nomor Whatsappnya tanpa ragu. Saya juga heran,
saya kira pertanyaan saya bakal di balas via DM saja.
Akhirnya kami saling
bertukar pesan lewat Whatsapp. Saya bertanya mengenai buku yang Kak Nia gunakan
dan apa tips-tips ia saat menghadapi tes MUET dulu.
Dari situ saya mulai
paham kalau MUET sendiri hampir sama seperti IELTS namun ada sesi diskusi grup
didalamnya yang membuatnya terlihat berbeda. Saya disarankan untuk menonton
Youtube untuk sesi diskusi tersebut agar
mengetahui lebih jelas. Setelah berbalas pesan satu sama lain, kami
sempat tidak berbalas pesan untuk beberapa waktu, hanya melihat status
masing-masing.
Sampai suatu ketika
“Dek, boleh kak nia pinjem bukunya Raditya Dikanya?
Rizki tinggal dimana?”
Chat dari seseorang yang
saya beri nama “Kak Nia Dosen” itu masuk ke Whatsapp saya.
Kebetulan kak Nia adalah
salah satu orang yang menggemari novel Raditya Dika. Dia pernah membaca buku
Manusia Setengah Salmon dan mengetahui jika saya memiliki kumpulan buku Radit
dari status Whatsapp yang saya bagikan.
“Saya tinggal di Dasan
Cermen kak” Jawab saya.
“Waduh jauh ya. Thanks
infonya” Balas kak Nia, yang seperti mengurungkan niat untuk meminjam buku
koleksi Raditya Dika saya.
Kebetulan sekali saat itu
saya ingin mengurangi barang-barang yang sudah tidak saya pakai lagi dan
opsinya saat itu ada 2. Menjual buku-buku itu atau menyumbangkannya. Chat dari Kak
Nia tersebut membuat saya berpikir sepertinya lebih baik buku ini saya kasih ke
dia saja.
“Kak Nia tinggal dimana?
Kalau mau bisa saya kirimin bukunya kak.”
“MasyaAllah kebetulan
banget ya, hehehehe” Balas kak Nia tampak antusias.
“Kak Nia ngekos di
sekitar Dasan Agung biar deket kalau ke Unram” lanjut Kak Nia.
Setelah percakapan tadi,
kami memutuskan untuk bertemu. Karena jarak rumah saya dengan kos-kosan Kak Nia
yang lumayan jauh, kami berdua sepakat
untuk mencari titik tengah yaitu di tempat kami mendaftar beasiswa dulu, rumah
Bahasa LPP NTB di hari sabtu pukul 13.00 WITA.
****
Sabtu pagi harinya, Kak
Nia mengingatkan kembali soal pertemuan hari itu
“Dek, nanti kalo jadi
kabari ya”
“Siap kak nia. Oh ya kak.
Nanti sepertinya saya ga pake pakaian yang formal2 banget, saya pake kaos sama
celana pendek aja, soalnya celana Panjang saya udah pada ga muat hehehehe”
“Oke santai aja dek, ini
weekend juga. Oh ya nanti kalau udah otw kabari aja ya” Balas kak Nia menutup
percakapan.
Sebelum berangkat menuju
lokasi pertemuan, saya mulai menyiapkan buku-buku yang sudah dijanjikan untuk
saya berikan ke kak Nia. Saya mulai mengeluarkan tumpukan buku-buku dari dalam
kardus tempat saya menyimpannya. Sambil memilah mana saja buku yang kak nia
inginkan.
Mata saya tertuju pada
satu buku Raditya Dika yang berjudul Radikus Makankakus, entah angin apa yang
membuat saya langsung merasakan nostalgia dan secara impulsif membuka buku
tersebut. Lembar demi lembar saya buka, senyum tipis adalah reaksi pertama saat
saya menemukan jokes yang ada di buku tersebut, sampai pada jokes
tentang tabib yang bangga karena di bilang mirip aktor Anjasmara oleh warga,
tapi ternyata anjasmara yang dimaksud adalah pemain topeng monyet gang sebelah.
Man dulu sengebet itu
saya pengen ngikutin jejak orang ini. Menjadi penulis buku komedi.
Buru-buru saya masukan
buku-buku tersebut sambil mempersiapkan diri untuk pergi setelah melihat jam
udah semakin mendekati pukul 13.00 WITA.
****
Singkat cerita saya sudah
sampai di Taman Sangkareang, sambil duduk sebentar ditemani Yoga, teman yang
mengantar saya ketemu kak Nia. Saya memperhatikan kantong kresek hitam yang
terdapat buku-buku radit tersebut. Kami mencari tempat teduh di depan halaman
tepat disebelah kantor rumah bahasa. Sambil menunggu kak Nia datang, saya
merenung sebentar, sesekali melihat pepohonan hijau yang mengitari Taman
Sangakareang. Terkadang ke arah trotoar melihat manusia yang sibuk dengan
aktivitasnya. Pandemi membuat tempat
yang biasanya ramai di akhir pekan tersebut seperti tidak ada kehidupan sama
sekali, hanya beberapa kendaraan yang lewat di depan kami. Sedih.
Saya melihat Yoga yang
sedang asik bermain black desert dihapenya. Serius sekali mukanya. Model
orang yang bakal ga nyambung diajak ngomong kalo lagi seru gitu. Buru2 saya
palingkan pandangan saya ke arah jalan lagi sebelum Yoga menyadari dan kita saling
bertatapan. Bagi saya ga ada yang lebih menggelikan daripada dua orang pria
normal berusia seperempat abad saling tatap-tatapan selama beberapa detik tanpa
berbicara sepatah katapun.
Tidak sampai 5 menit
sejak kedatangan saya, dari kejauhan tampak motor matic datang. Seorang Wanita
muda mengenakan hijab cokelat menuju arah saya. Kita saling kontak mata dan
sepertinya dia paham bahwa saya adalah Rizki, orang yang ia chat td. Wanita itu
lalu turun dari motor maticnya yang ber nomor plat bali tersebut.
Saya berdiri dan
menghampiri Wanita tersebut “ Kak Nia?” Tanya saya, sambil menaikan jari telunjuk, menebak.
Wanita itu membalas “
Rizki? Finally kita meet in person ya” dengan nada antusias, terlihat dari
matanya yang tersenyum walau saat itu ia mengenakan masker berwarna hitam.
“hehehe, iya kak nia, ini
bukunya” saya memberikan kantong kresek hitam itu ke Kak Nia.
“Wih, thank you ya” jawab
kak Nia tampak senang sambil melihat ke arah dalam kantong kresek tersebut.
Sambil memegang plastik
itu Kak nia mulai berbicara
“Gimana Rizki, kapan jadi
berangkat?” kata kak nia membuka topik pembicaraan
“Mungkin septermber ini
kak, soalnya kita harus karantina dulu di KL 2 Minggu”
“oh really? Asdfghjkl….”
Entah secara ga sadar atau
Kak nia yang menganggap skill Bahasa inggris saya cukup baik. Ia berbicara full
Bahasa inggris dalam satu kalimat. Sebagai orang yang akan berkuliah di kampus
dengan Bahasa pengantar English dan tidak ingin keliatan bego-bego amat didepan
dosen muda, cantik dan berpendidikan ini. Saya ikut membalas perkataan kak Nia
dengan Bahasa inggris juga. Iya kali saya jawab pake Bahasa Indonesia.
“Y-Y-Yes, Kak nia”
Kayaknya saya mesti
belajar lagi.
Oke, sebenernya saya
paham Bahasa inggris dan jika disuruh berbicara pun pasti bisa. Tapi level
Bahasa inggris saya masih berada pada tingkat dimana saat saya ingin mentrasfer kalimat yang sudah
saya translit di otak dan mengolahnya menjadi kalimat utuh dalam Bahasa Inggris
di mulut, maka sudah bisa dipastikan struktur kalimat yang keluar akan menjadi berantakan.
Pernah di suatu momen saya melihat kak
Nia memposting status whatsapp. Mungkin karena insting seorang pengajarnya lagi
bangkit saat itu, dia memperbaiki sebuah kalimat dari seseorang yang
mengucapkan kata pengantar tidur yang kebetulan ditulis dalam Bahasa inggris.
“Harusnya pake has bukan
have, karena pake Nia” Tulis kak Nia dipercakapan whatsapp yang ia jadikan
status.
Sebelum kak Nia terbawa
suasana dan mulai berbicara pakai Bahasa inggris kembali. Saya langsung
berinisatif berbicara duluan.
“Saya udah dapat offer
kak dari kampus, conditional offer, harus tes muet juga”
Plis plisss jangan jawab
pake Bahasa inggris
“Iya, setau Kak Nia gitu
kayaknya. Semuanya begitu” Jawab kak Nia
Fyuh
Saya udah tegang duluan,
kehabisan ide gimana cara hindarinnya. Jaga-jaga kalo Kak Nia masih pake Bahasa
inggris juga, masak iya saya harus pura-pura kesurupan. Selain ga logis dan ga keren,
pria dewasa obesitas teriak2 gerus tanah sambil mengaung tidak tampak sangar
sama sekali. Daripada keliatan seperti macan, mungkin saya lebih mirip babi
hutan yang lepas kendali.
“Awalnya saya kira
biayanya Muetnya ditanggung kak, ternyata bayar sendiri hehehe” kata saya, melanjutkan.
“Iya dek, emang kita
harus bayar sendiri. Kak Nia juga dulu bayar buat tesnya”
“Biayanya berapa ya kak?”
“Biayanya sekitar satu
juta lima ratus” kata kak Nia, sambil mengangguk tipis, mengiyakan.
Setelah percakapan
singkat tadi, kak Nia mulai menceritakan sedikit pengalamannya saat masih studi
S2 di Malaysia dulu. Mulai dari cara bagaimana ia menyiasati saat akan mengambil uang di ATM. Karena,
menurut kak Nia biaya sekali penarikan bisa sampai 60 ribu rupiah dan ia
menyarankan agar mencari teman yang mau menukarkan mata uang rupiah dengan
ringgit. Katanya lebih menguntungkan dengan cara itu. Lalu kak Nia juga memberi
tahu bagaimana cara agar saya bisa lulus dalam waktu yang ditetapkan pemberi
beasiswa.
Tidak terasa udah hampir
10 menit saya dan kak Nia berbicara, sampai lupa bahwa saya juga harus ketempat
teman setelah itu.
“Aduh, kak Nia, maaf
banget saya harus pergi ke temen sekarang” Kata saya
“oh, iya ga apa-apa dek.
Kak Nia juga habis ini mau ke tempat sepupu” Jawab kak Nia, memaklumi.
Setelah itu Kak Nia izin
pamit lebih dulu, ia menaiki motor maticnya dan memutar balik di jalan satu
arah tersebut dan pergi meninggalkan saya. Punggung Kak Nia semakin mengecil
dari kejauhan dan menghilang diantara motor dan mobil yang berada di
sampingnya.
Makasih semesta, karena sudah
mempertemukan saya dengan orang sebaik Kak Nia. Semoga kita bisa bertemu kembali,
suatu saat nanti.
****
Entah ada yang mengganjal
sejak pertemuan siang hari itu. Ada rasa yang aneh di dalam dada saya. Seperti lubang
hitam yang siap menyedot planet-planet disekitarnya. Saya membuka kembali blog
yang telah lama saya tinggalkan. Tulisan-tulisan seorang Rizki yang kala itu
masih berusia 20 tahun. Seorang Rizki yang sudah mengubur impiannya untuk menjadi seorang penulis. Seorang Rizki yang
saat itu, dengan segala kenaifannya, ingin
mengikuti jejak idolanya.
Saya merenung, melihat ke
arah langit yang sudah mulai berwarna jingga dari lantai 2 rumah saya. Saya
membuka radityadika.com untuk melihat kembali tulisan-tulisan konyol seorang Raditya
Dika. Namun, yang saya temukan adalah tampilan beranda Youtubenya. Blognya
sudah tidak ada. Lalu percobaan lainnya, saya membuka website milik Arief Muhammad, poconggg.com, yang ternyata domain
dan hostingnya sudah kadaluarsa dan shitlicious.com blog milik Alitt Susanto
yang terakhir memposting tulisannya pada tahun 2018.
Aneh aja rasanya, para
penulis idola saya sudah mulai meninggalkan blog untuk menuju kanal yang baru.
Sedangkan saya, disabtu sore itu, mencoba untuk memikirikan konsep blog yang
akan saya sajikan nantinya. Entah mereka yang sudah move on atau saya
yang terlalu bodoh untuk diam di titik ini. .
Saya terdiam beberapa
saat sambil menatap layar monitor.
Bersamaan dengan angin
ringan yang berhembus di sabtu sore itu saya tersadar. Kenapa saya ga jadikan blog
ini sebagai random digital diary saya aja, yang tiap pekan, di hari
sabtu, saya upload. Entah tulisan pengalaman random, pemikiran saya
terhadap sesuatu, puisi, atau bisa juga cerita pendek dan bersambung. Dimana
suatu saat nanti, saat saya udah tua dan ga asik diajak bercanda lagi, saya
bisa kembali ke blog saya dan melihat perkembangan emosional saya di usia
remaja dan dewasa awal dulu. Saya jadi ingat. Haruki Murakami, novelis yang
memiliki karya mendunia seperti Kafka on the shore, Norwegian Wood, 1Q84
barumulai menulis novel pertamanya kala ia berusia 29 tahun. Bahkan, pada saat
itu ia tidak memiliki pengalaman menulis sama sekali dan tidak pernah
menciptakan karya apapun. Hidetaka Miyazaki, Direktur Fromsoftware sekaligus
orang yang bertanggung jawab melahirkan
banyak gim keren seperti Souls Series, Bloodborne dan Sekiro baru terjun
di industri gim saat ia berusia 29 tahun.
Untuk itu, tidak ada
alasan bagi saya untuk berhenti.
0 comments:
Posting Komentar
Komentar Chillies Family