Jumat, 23 Juli 2021

Dicintai, Mencintai

Di suatu pagi di akhir pekan tahun 2019. Saat itu saya sedang duduk di depan rumah memperhatikan mobil yang melintas sambil menjaga kios pupuk ayah saya.Dari arah kiri saya tiba-tiba datang seorang laki-laki yang wajahnya cukup familiar.

 Ia menghampiri saya..

“Woy, Ki. Astaga lama ga ketemu.” Lelaki tersebut menyapa saya dengan akrab.

Lelaki yang menyapa saya tersebut  adalah teman semasa sekolah dulu. Dodit.

“Ya Allah, Dit. Kamu ternyata.”

 “Lama ga ketemu kamu, Dit. Dari kita selesai sekolah dulu. Selepas itu pada hilang kabar. Kamu habis darimana?” Tanya saya

“Nggak ada. Ini barusan habis mampir ke sekolah. Katanya mau ada reuni, kamu ga tau soal itu? Rame di grup FB padahal. Makanya pas saya lewat tadi saya jadi kepikiran. Kenapa saya ga kerumahmu aja sekalian. Rumahmu kan deket dari sekolah” jawab Dodit

“Hahahaha, iya. Duduk dulu sini, cerita-cerita dulu”

Saya mempersilahkan Dodit duduk di sebelah saya.

Sebagaimana teman yang sudah lama tidak berjumpa, seperti biasa kita saling bercerita soal masa-masa sekolah dulu, kesibukan selepas kuliah,  guru-guru killer yang pernah menghukum kita berdua dan soal cinta pertama yang sama-sama pernah kita pendam.

Setelah itu kita bertukar nomor telepon.

Saat sedang asik bercerita, Dodit mengeluarkan sebuah benda ke hadapan saya. Benda yang terlihat seperti pin.

“Ki, liat ni” Dodit menunjukan pin gantungan kunci bergambar wajahnya, sambil menyenggol pundak saya.

“Apa ini? Kok kamu print fotomu disini?” tanya saya

“Bukaaann, tunggu dulu makanya” Dodit membalik arah gantungan kunci berbentuk lingkaran itu. Terlihatlah sosok wanita bercadar di pin gantungan kunci tersebut.

“Cieee, siapa ni, Dit? Cewek yang mana lagi?”

Dodit tertawa mendengar candaan saya, “ Ini pacar saya sekarang. Dewi namanya. Udah 2 tahun.”

Dodit adalah orang yang sedang jatuh cinta. Sebagaimana orang yang jatuh cinta. Dodit pastinya ingin mengabadikan momen tersebut. Seolah benda tersebut dibuat sebagai pengumuman kepada dunia.

Tanda bukti cinta, untuk seorang perempuan bernama Dewi.

“Ini saya bikin sendiri” lanjut Dodit tanpa mengalihkan pandangannya dari gantungan kunci tersebut, tersenyum.

“Eh, tapi dit. Itu bolongan kuncinya ngelubangi wajahmu. Hahahaha”

Dodit tak bergeming, bodo amat gambar wajahnya berlubang. Bagi Dodit, saat itu yang terpenting hati keduanya bertaut.

Dodit berkenalan dengan Dewi saat  orientasi mahasiswa baru. Saat itu ia sudah berada di akhir jabatannya menjadi seorang ketua HMJ. Dimana saat orientasi mahasiswa ia menjabat sebagai Panitia dan Dewi adalah peserta orientasi.

Di suatu momen sebelum pandemi masuk ke Lombok, saya masih ingat pada saat itu perayaan Maulid di kampungya Dodit, Ia mengundang saya. Saya bersama dua orang teman Arya dan Rian datang menuju rumahnya. Kami ber tiga dipersilahkan untuk duduk di teras depan rumahnya yang sengaja disiapkan untuk tamu yang hadir di acara maulid tersebut sambil disiapkan makanan.

Sembari menjamu tamu, Dodit menemani kami berbicara. Namun, ada yang aneh saat itu. Raut muka dodit tampak tidak tenang. Ia seperti gelisah sendiri, kadang ketika di ajak berbicara ia hanya menganggukan kepala, tapi saya tau ia tidak benar-benar mendengarkan. Sesekali arah pandangannya ke arah luar rumahnya, lalu kembali lagi ke Hapenya begitu terus, seperti menunggu seseorang.

Hingga tidak beberapa lama kemudian, seorang perempuan datang di temani oleh beberapa orang dibelakangnya.

Ia terlihat ramah pada ibu Dodit saat datang, raut muka Dodit langsung berubah seketika. Tampak wajah bahagia menyelimuti wajahnya. Ia menghampiri perempuan itu sembari meninggalkan kami bertiga, mempersilahkan masuk.

Saat saya melihat Dodit yang tingkahnya terlihat kikuk dan canggung itu, saya langsung menyimpulkan kalau perempuan tadi adalah Dewi.

Dodit menghampiri kami bertiga,

“Saya kesana bentar ya, kalian bertiga ngobrol disini aja dulu”

“Oke Dit, eh itu..”

Saya menaikan alis mengarahkan pandangan ke arah perempuan itu sambil menyenggol Dodit. Ia langsung paham

“Iya, itu dah orangnya” menyenggol balik saya, wajahnya sumringah.

****

Beberapa bulan setelah itu, saat saya sedang berada di sebuah kedai kopi  untuk mencoba menu yang lagi happening disana yaitu Kopi susu gula aren, saya jadi kepikiran untuk mengajak Dodit. Karena,  setelah maulid, kami sangat jarang bertemu dan kebetulan warung kopi tersebut berada dekat dengan rumahnya.

“Dit, ngopi yok, ke tempat saya sini” ajak saya via whatsapp

“Dimana kamu ngopi itu?”

“Warkop baru di deket Sekolah kita itu. Kamu tau kan?”

“Oh disana? Tau saya kalo itu. Siap berangkat, suntuk juga saya ini. Oh ya ada yang mau saya ceritain juga”

Tidak lama berselang Dodit datang dari arah pintu masuk di depan saya. Ia langsung duduk didepan memesan kopi yang sama dengan saya. Kami berbincang berbagai macam hal sampai pada akhirnya saya teringat kalau Dodit ingin bercerita sesuatu ke saya.

“Eh, tadi kamu mau cerita apa?” tanya saya, mengingatkan

“Oh iya. Lupa. Sebenernya, ada yang mau saya ceritain soal orang yang pernah deket sama saya dulu, yang pernah saya kasih tau ke kamu, si Dewi.”

“Iya, kenapa?” Tanya saya

“Saya udah ga sama dia lagi sekarang” Kata Dodit, melanjutkan

Saya terdiam

“tapi tenang aja, Ki. Saya cerita gini karena hati saya udah enakan sekarang. Tapi saya tetep butuh cerita”

Dodit bercerita bahwa Dewi memiliki masa lalu bernama Ari, yang merupakan kakak tingkatnya saat ia masih sekolah di pondok dulu. Bahkan Dodit tahu soal ini dari Dewi sendiri. Ia pernah bertanya kepada Dewi apakah ia masih menyimpan rasa terhadap kakak tingkatnya dulu. Dengan tegas Dewi menjawab bahwa yang ada di hatinya saat itu hanya Dodit seorang.

Ia melanjutkan,“Dia balik lagi sama masa lalunya itu. Pernah saya ngecek hapenya Dewi karena saya udah mulai curiga kalo dia udah berubah. Ada pesan dari kontak yang namanya ‘kak adi’ di kotak masuknya dan mereka chatting panjang lebar. Se akrab itu. Dan kamu tahu? Ternyata ‘kak adi’ itu nama belakangnya si Ari sialan itu” jawab Dodit, tatapannya kosong

“Dari sana, setelah pesan dari ‘kak adi’ itu, saya jadi orang yang curigaan, Ki. Pernah dia ga bales chat saya, dan saya langsung spam chat ke dia, karena saya curiga kalo dia pasti lagi asik chat sama si Ari itu. Pas saya telepon whatsappnya juga dan nomor nya sedang berada dalam panggilan lain, pasti saya berpikir dia lagi telponan sama masa lalunya itu. Soal si Adi yang kemarin sempat saya liat pesannya aja, dia bilang kalo Ari Cuma mau silaturahim aja. Halah. Mana ada orang mau silaturahim tapi chatnya kayak gitu. Saya udah seperti orang gila. Saya seperti dihantui kecemasan soal Dewi”

Dalam situasi saat orang mengeluarkan apa yang ada dalam benaknya, hal yang saya rasa paling bijak saat itu adalah mencoba berempati terhadap situasinya. Mencoba mendengar tanpa memotong pembicaraanya. Biarkan ia mengeluarkan semua isi pikirannya. Sampai pikirannya tenang.

Saya meyakini walau saat di warung kopi itu Dodit bilang bahwa hatinya sudah enakan. Namun, ada cerita yang belum selesai disana. Setidaknya matanya berkata demikian.

Dodit terdiam lama

Saya pernah mendengar di suatu video soal relationship, bahwa manusia akan mengalami 3 fase jatuh cinta. Fase pertama adalah fase dimana mereka mulai merasakan ketertarikan terhadap lawan jenis, bisa dibilang ini adalah cinta pertama. Fase kedua dimana mereka mulai memiliki hubungan dan merasa memiliki ikatan yang erat. Hingga, di titik dimana jika ada sesuatu yang mencoba untuk mengancam hubungan mereka, maka mereka seketika akan menjadi orang yang was-was, dan akan melakukan berbagai cara untuk menyelamatkan hubungannya. Fase terakhir dari jatuh cinta adalah orang yang sudah belajar dari hal-hal buruk yang mereka lewati. Mereka lebih dewasa dalam menghadapi jatuh cinta dan siap sama2 belajar untuk menjadi lebih baik ke depan. Bisa dibilang ini adalah jatuh cinta terakhir. Semua fase ini bisa saja dilalui oleh orang yang berbeda pada tiap tahapannya atau bahkan untuk yang hanya menjalani hubungan dengan satu orang.

Saya tahu Dodit adalah seorang pria yang dewasa dan ia hanya sedang di kuasai rasa cemburu saat itu, apalagi mereka yang sudah berhubungan lebih dari 2 tahun. Dodit juga paham hal itu. Dodit juga sadar kalau sikapnya terhadap Dewi bukan perasaan cinta lagi, melainkan obsesi semata. Sehingga sikap posesifnya terhadap Dewi membuat hubungan nya tidak bisa diselamatkan lagi.

Pada akhirnya keduanya berpisah.

****

Malam senin kemarin, saat saya berkunjung kerumah Dodit untuk minta izin mencantum kisahnya di blog. Saya memberitahu konsepnya sambil menceritakan plot kisahnya, agar tidak ada yang melenceng dari sudut pandang Dodit.

Seperti biasa ia mempersilahkan saya duduk di kursi panjang depan rumahnya, sembari menawarkan kopi. Sebelum dia sempat beranjak dari kursi panjangnya saya lebih dulu membuka percakapan

“Dit, jadi saya pake ceritamu soal Dewi buat bahan blog saya. Boleh kan?”

“oke, gapapa pake aja, hehehe”

“Oh ya, Dit. Coba ceritain dikit lagi soal Irma”

Saya jadi teringat dengan salah satu perempuan yang pernah Dodit ceritakan, perempuan yang sudah pasti ada di setiap cerita soal Dewi. Perempuan yang menjadi tokoh pembuka di setiap cerita soal ‘hubungan yang gagal’. Perempuan yang pernah memendam rasa sekian tahun kepada Dodit. Perempuan yang juga  mengajarkan arti penyesalan terhadap Dodit. Perempuan bernama Irma.

Tiap kali Dodit bercerita soal kegagalan hubungannya dengan Dewi pasti ia menggumam “Coba saya dulu lebih cepat tembak Irma”

Dodit mulai membenarkan posisi duduknya, mencoba mengingat

“Oh iya Irma. Mulai darimana ni? Saya banyak kenangan kalo sama dia”

Saya tertawa kecil, “yang berkesan saja, jangan semua.”

Dodit menengadahkan kepala, melihat ke arah bintang-bintang, berpikir.

Tiba-tiba ia menepuk paha saya, sontak saya kaget

“Eh, kopinya belum saya bikin ni. Malah cerita. Bikin kopi dulu ya? Good day?”

“Boleh, apa aja dah Dit” jawab saya

Setelah itu Dodit pergi untuk menyeduh kopi, dan kembali lagi sebelum 5 menit.

“Nih, kopinya”

Saya mengambil kopi yang dibuat dicangkir kecil itu, Ia duduk disebelah saya mulai mengenang kisah soal Irma

“Aduh, dari mana ceritanya ya? Oh ya dari sini aja….”

****

Dodit berkenalan dengan Irma setelah Ia menjadi mahasiswa dikampus barunya tahun 2014. Sebenarnya Dodit adalah teman satu angkatan saya.  Kita berdua sama-sama masuk kuliah di tahun 2012. Ia masuk di kampus negeri di Mataram dan saya merantau ke Kota Malang. Namun, karena satu dan lain hal Ia memutuskan untuk Drop Out dari kampus lamanya dan pindah ke kampusnya yang sekarang. Di sana ia bertemu Irma.

“Jadi Irma itu temen kelas saya dikampus saya sekarang, tapi dulu anak2 kelas sering manggil saya pake nama aja termasuk Irma. Eh pas temen saya buka dompet saya. Disana kan ada KTM saya dikampus yang dulu, dari situ ketauan saya anak 2012.”

“Terus Irma ngomong gini ke saya ‘saya panggil Kak Dit aja ya?’ gitu, Ki” lanjut Dodit

Dodit  menceritakan bagaimana ia semakin intens berhubungan dengan Irma, Ia sering membantu Irma untuk mengerjakan tugasnya bersama, kemana-mana pun mereka selalu berdua. Bahkan saat di laboratorium, Dodit selalu membawa kamera DSLR kakaknya untuk mengambil foto sebagai dokumentasi dan Irma kerap kali meminta ia untuk mengambil fotonya. Saat itu, Dodit pikir hal itu hanya permintaan seorang teman saja. Tapi tidak demikian bagi Irma. Ia diam-diam memendam rasa terhadap Dodit.

Hingga teman-teman sekelas Dodit yang melihatnya sering berdua mulai menjodoh-jodohkan dirinya dengan Irma.

“Saya ga tau ya, Ki. Mungkin karena kita sering bareng pas itu. Makanya temen2 kayak masang2in kita gitu. Saya sih gapapa ya. Tapi, Irma. Saya takut dia risih waktu itu” Kata Dodit, menjelaskan

Pernah disuatu momen dikelas, saat dosen mulai mengabsen mahasiswa dan tiba-tiba saat giliran nama Dodit yang  disebut. Dosen itu berhenti

“Dodit?”

“Hadir, Pak” jawab Dodit

“Sebenarnya saya bisa baca aura, dan dari aura mu, sepertinya dikelas ini ada yang suka sama kamu”

 Entah dosen tersebut sedang bercanda atau tidak, tiba-tiba seluruh mata mahasiswa di kelas itu tertuju pada Irma. Sorak sorai anak-anak kelas biologi hari itu membuat suasana kelas menjadi ramai. Dodit melihat Irma. Begitu pula sebaliknya.

Mereka berdua salah tingkah.

Walau sudah sering dijodoh-jodohkan teman sekelas. Namun, tidak membuat mereka semakin dekat. Malah, Dodit merasa candaan teman kelas tadi hanya akan membuat Irma risih karena sering dipasangkan dengannya. Oleh karena itu, ia mencoba tidak terlalu dekat dengan Irma lagi. Semakin lama hubungan keduanya makin renggang hingga tahap Dodit mulai sering terlihat dekat dengan cewek lain bernama Rena. Sebenernya menurut Dodit, mereka hanya sering berdiskusi bersama dikelas karena Rena juga merupakan anak yang pintar dan Dodit sering bertanya ke dia.  Hingga teman Irma menghampiri Dodit

“Kak, Irma cemburu liat kakak sekarang sering berdua sama Rena, dia cerita kesaya loh sampe nangis, sebenernya saya ga mau cerita juga tapi kak Dodit harus tahu”

Kenyataan bahwa Irma selama ini memendam rasa sebesar itu ke dia membuat Dodit terdiam lama. Namun, setelah semua itu Dodit masih saja bingung. Apa yang harus ia lakukan. Apakah ia harus menyatakan cintanya atau tidak. Di saat yang sama ternyata Dodit mulai merasakan perasaan yang sama terhadap Irma setelah sering melalui hari-hari bersama dulu.

Dan setelah momen yang panjang. Hari dimana penantian lama itu datang ketika Dodit mendapatkan tugas untuk PPL di Mts salah satu ponpes besar di Lombok Barat.

Sebelum memulai tugasnya sebagai pengajar ia bersama teman-temanya yang lain memperkenalkan diri terlebih dahulu ke kepala sekolah Mts tersebut. Dodit memperkenalkan dirinya ke kepala sekolah yang menyambut mereka.

“Oh Dodit? Biologi angkatan 2014? Temennya Irma ya?” Tanya  Kepala sekolah tersebut, menebak.

Dari sana dodit langsung kaget

“Iya, pak, saya kebetulan temannya Irma kuliah, Kok Bapak bisa tahu ya?” tanya Dodit, penasaran

“Iya, Irma sering cerita soal kamu ke Bapak. Saya Bapaknya Irma”

Dodit tidak menyangka ternyata pria yang didepannya sekarang adalah Ayah dari Irma, wanita yang akhir-akhir ini mulai menganggu pikiran Dodit. Darisana Ia langsung yakin, kalau ini saat yang tepat untuk menyampaikan perasaannya terhadap Irma. Jika Irma sampai menceritakan soal dirinya ke ayahnya berarti sudah tidak perlu menuggu lama lagi. Ga ada waktu yang lebih tepat selain sekarang, pikir ia.

****

Saya menyeruput kopi yang sudah disediakan Dodit tersebut sembari mendengar kisah yang ia ceritakan.

“Saya beraniin diri, Ki. Saya tembak dia sambil kirimin lagu akadnya payung teduh, waktu itu lagu akad lagi rame.”

“Tapi sayangnya dia bilang gini ‘kakak Dit, maaf ya coba dari dulu kakak bilang. Sekarang udah terlambat, saya udah dekat sama orang lain’.  Duh, langsung galau saya, Ki. Asli. Kalau saya ga ada kegiatan dikampus dulu paling udah saya diem aja di kamar. Asli lemes saya. Nyesel saya. Makanya gara-gara itu saya sekarang lebih cepat kalo PDKT.” lanjut Dodit

“Makanya, kamu langsung cepet nembak Dewi waktu itu? Setelah sama Irma gagal? ” Tanya saya

“Iya, saya ga mau kasus yang sama terulang”

Saya menyeruput lagi kopi good day yang sudah mulai dingin tersebut

“Apalagi ya yang lain, oh ya kamu ingat pas gempa lombok ? Saya yudisium kan pas itu, barengan sama Irma dan beberapa temen yang lain. Itu lagi gempa lho, pas yudisium. Pagi-pagi itu. Irma duduk disebelah saya kan. ”

Tiba-tiba Dodit menggenggam tangan saya. Iya, menggenggam, menirukan dengan persis cara Irma menggenggam tangan Dodit saat itu.

“Gini cara Irma megang tangan saya”

Sambil  menirukan gaya Irma, Dodit berkata “kak Dit jangan lepasin tangan adek ya. Kak Dit jangan pergi”

Dodit mulai menirukan gaya Irma yang pada saat itu sedang ketakutan lengkap dengan suaranya yang dibuat se feminim mungkin. Saya mulai panik, ngeliat keadaan sekitar. Pengen saya tonjok mukanya.

Saya berusaha melepaskan genggaman tangan Dodit tapi dia malah menggenggam tangan saya makin erat.

“Diem dulu, biar kamu ngerti suasananya. Gimana rasanya Irma panik hari itu”

Hey ini bukan Irma lagi yang panik! Saya lebih panik, habis ini kalo ada yang liat di Rajam kita berdua

Genggaman itu merupakan cerita terakhir antara Dodit dan Irma. Genggaman tangan terakhir dari orang yang pernah dekat. Genggaman dari mereka berdua yang pernah memiliki rasa yang sama namun sama-sama tidak berani mengungkapkan. Genggaman yang tetap tak bisa membuat garis takdir menyatukan mereka.

Irma saat ini  sudah menikah dengan lelaki lain.

****

Sebelum ijin pulang untuk merangkum kisah Dodit. Sebuah motor berhenti tepat didepan rumahnya. Seorang wanita berjilbab tampak berhenti di pagar rumah Dodit. Wanita yang saat ini dekat dengan Dodit.

“Kak, ada kak Ita disana?” tanya wanita diluar rumah Dodit tersebut

“Ndak ada, sudah berangkat barusan”

Mereka berdua saling bertatapan dan tersenyum

“Oh iya udah. Mari kak” Jawab wanita tadi

Saya giliran menepuk paha Dodit, “itu pasti fitri kan?”

Dodit hanya mengangguk kecil,

“Iri saya sama kamu, Dit. Masak saya harus melewati semua sakit hati itu biar dapet yang kayak Fitri”

“Yah suka ga suka. Itu aturannya, Ki”

Kita berdua tertawa dibawah langit penuh  bintang di malam itu.

****

Dari semua kisah yang Dodit pernah lalui. Rasa sakit itu. Perasaan yang terlambat diungkapkan. Bagaimana Dodit kehilangan kesempatannya saat bersama Irma. Lalu, saat ia mulai belajar untuk menyatakan perasaannya lebih awal kepada Dewi, ternyata orang tersebut belum bisa melupakan masa lalunya.

Saya jadi tersadar akan satu hal. Bahwa perdebatan antara dicintai atau mencintai seharusnya tidak perlu terlalu dipusingkan. Pada akhirnya kedua hal itu hanya bagian awal dari sebuah kisah cinta.

Memilih untuk tidak percaya akan cinta juga bukan jawaban dari setiap patah hati. Dalam kasus Dodit ia menemukan cara untuk menyembuhkan hatinya. Menyembuhkan hati yang sempat menutup diri untuk menerima cinta. Dodit sadar bahwa yang bisa menyembuhkan hatinya dari rasa sakit pada akhirnya adalah membuka hatinya kembali.

Menerima cinta yang baru.

 

0 comments:

Posting Komentar

Komentar Chillies Family