Di suatu pagi di akhir
pekan tahun 2019. Saat itu saya sedang duduk di depan rumah memperhatikan mobil
yang melintas sambil menjaga kios pupuk ayah saya.Dari arah kiri saya
tiba-tiba datang seorang laki-laki yang wajahnya cukup familiar.
Ia menghampiri saya..
“Woy, Ki. Astaga lama ga
ketemu.” Lelaki tersebut menyapa saya dengan akrab.
Lelaki yang menyapa saya tersebut adalah teman semasa sekolah dulu. Dodit.
“Ya Allah, Dit. Kamu ternyata.”
“Lama ga ketemu kamu, Dit. Dari kita selesai
sekolah dulu. Selepas itu pada hilang kabar. Kamu habis darimana?” Tanya saya
“Nggak ada. Ini barusan
habis mampir ke sekolah. Katanya mau ada reuni, kamu ga tau soal itu? Rame di
grup FB padahal. Makanya pas saya lewat tadi saya jadi kepikiran. Kenapa saya
ga kerumahmu aja sekalian. Rumahmu kan deket dari sekolah” jawab Dodit
“Hahahaha, iya. Duduk
dulu sini, cerita-cerita dulu”
Saya mempersilahkan Dodit
duduk di sebelah saya.
Sebagaimana teman yang
sudah lama tidak berjumpa, seperti biasa kita saling bercerita soal masa-masa
sekolah dulu, kesibukan selepas kuliah, guru-guru
killer yang pernah menghukum kita berdua dan soal cinta pertama yang sama-sama pernah
kita pendam.
Setelah itu kita bertukar
nomor telepon.
Saat sedang asik
bercerita, Dodit mengeluarkan sebuah benda ke hadapan saya. Benda yang terlihat
seperti pin.
“Ki, liat ni” Dodit
menunjukan pin gantungan kunci bergambar wajahnya, sambil menyenggol pundak
saya.
“Apa ini? Kok kamu print
fotomu disini?” tanya saya
“Bukaaann, tunggu dulu
makanya” Dodit membalik arah gantungan kunci berbentuk lingkaran itu.
Terlihatlah sosok wanita bercadar di pin gantungan kunci tersebut.
“Cieee, siapa ni, Dit?
Cewek yang mana lagi?”
Dodit tertawa mendengar
candaan saya, “ Ini pacar saya sekarang. Dewi namanya. Udah 2 tahun.”
Dodit adalah orang yang
sedang jatuh cinta. Sebagaimana orang yang jatuh cinta. Dodit pastinya ingin
mengabadikan momen tersebut. Seolah benda tersebut dibuat sebagai pengumuman kepada
dunia.
Tanda bukti cinta, untuk
seorang perempuan bernama Dewi.
“Ini saya bikin sendiri”
lanjut Dodit tanpa mengalihkan pandangannya dari gantungan kunci tersebut,
tersenyum.
“Eh, tapi dit. Itu
bolongan kuncinya ngelubangi wajahmu. Hahahaha”
Dodit tak bergeming, bodo
amat gambar wajahnya berlubang. Bagi Dodit, saat itu yang terpenting hati
keduanya bertaut.
Dodit berkenalan dengan
Dewi saat orientasi mahasiswa baru. Saat
itu ia sudah berada di akhir jabatannya menjadi seorang ketua HMJ. Dimana saat
orientasi mahasiswa ia menjabat sebagai Panitia dan Dewi adalah peserta
orientasi.
Di suatu momen sebelum
pandemi masuk ke Lombok, saya masih ingat pada saat itu perayaan Maulid di
kampungya Dodit, Ia mengundang saya. Saya bersama dua orang teman Arya dan Rian
datang menuju rumahnya. Kami ber tiga dipersilahkan untuk duduk di teras depan
rumahnya yang sengaja disiapkan untuk tamu yang hadir di acara maulid tersebut
sambil disiapkan makanan.
Sembari menjamu tamu,
Dodit menemani kami berbicara. Namun, ada yang aneh saat itu. Raut muka dodit tampak
tidak tenang. Ia seperti gelisah sendiri, kadang ketika di ajak berbicara ia
hanya menganggukan kepala, tapi saya tau ia tidak benar-benar mendengarkan.
Sesekali arah pandangannya ke arah luar rumahnya, lalu kembali lagi ke Hapenya
begitu terus, seperti menunggu seseorang.
Hingga tidak beberapa
lama kemudian, seorang perempuan datang di temani oleh beberapa orang
dibelakangnya.
Ia terlihat ramah pada
ibu Dodit saat datang, raut muka Dodit langsung berubah seketika. Tampak wajah
bahagia menyelimuti wajahnya. Ia menghampiri perempuan itu sembari meninggalkan
kami bertiga, mempersilahkan masuk.
Saat saya melihat Dodit
yang tingkahnya terlihat kikuk dan canggung itu, saya langsung menyimpulkan
kalau perempuan tadi adalah Dewi.
Dodit menghampiri kami
bertiga,
“Saya kesana bentar ya,
kalian bertiga ngobrol disini aja dulu”
“Oke Dit, eh itu..”
Saya menaikan alis mengarahkan
pandangan ke arah perempuan itu sambil menyenggol Dodit. Ia langsung paham
“Iya, itu dah orangnya”
menyenggol balik saya, wajahnya sumringah.
****
Beberapa bulan setelah itu,
saat saya sedang berada di sebuah kedai kopi
untuk mencoba menu yang lagi happening disana yaitu Kopi susu
gula aren, saya jadi kepikiran untuk mengajak Dodit. Karena, setelah maulid, kami sangat jarang bertemu dan
kebetulan warung kopi tersebut berada dekat dengan rumahnya.
“Dit, ngopi yok, ke
tempat saya sini” ajak saya via whatsapp
“Dimana kamu ngopi itu?”
“Warkop baru di deket
Sekolah kita itu. Kamu tau kan?”
“Oh disana? Tau saya kalo
itu. Siap berangkat, suntuk juga saya ini. Oh ya ada yang mau saya ceritain
juga”
Tidak lama berselang
Dodit datang dari arah pintu masuk di depan saya. Ia langsung duduk didepan
memesan kopi yang sama dengan saya. Kami berbincang berbagai macam hal sampai
pada akhirnya saya teringat kalau Dodit ingin bercerita sesuatu ke saya.
“Eh, tadi kamu mau cerita
apa?” tanya saya, mengingatkan
“Oh iya. Lupa. Sebenernya,
ada yang mau saya ceritain soal orang yang pernah deket sama saya dulu, yang
pernah saya kasih tau ke kamu, si Dewi.”
“Iya, kenapa?” Tanya saya
“Saya udah ga sama dia
lagi sekarang” Kata Dodit, melanjutkan
Saya terdiam
“tapi tenang aja, Ki. Saya
cerita gini karena hati saya udah enakan sekarang. Tapi saya tetep butuh cerita”
Dodit bercerita bahwa
Dewi memiliki masa lalu bernama Ari, yang merupakan kakak tingkatnya saat ia
masih sekolah di pondok dulu. Bahkan Dodit tahu soal ini dari Dewi sendiri. Ia
pernah bertanya kepada Dewi apakah ia masih menyimpan rasa terhadap kakak
tingkatnya dulu. Dengan tegas Dewi menjawab bahwa yang ada di hatinya saat itu
hanya Dodit seorang.
Ia melanjutkan,“Dia balik
lagi sama masa lalunya itu. Pernah saya ngecek hapenya Dewi karena saya udah
mulai curiga kalo dia udah berubah. Ada pesan dari kontak yang namanya ‘kak
adi’ di kotak masuknya dan mereka chatting panjang lebar. Se akrab itu. Dan
kamu tahu? Ternyata ‘kak adi’ itu nama belakangnya si Ari sialan itu” jawab
Dodit, tatapannya kosong
“Dari sana, setelah pesan
dari ‘kak adi’ itu, saya jadi orang yang curigaan, Ki. Pernah dia ga bales chat
saya, dan saya langsung spam chat ke dia, karena saya curiga kalo dia
pasti lagi asik chat sama si Ari itu. Pas saya telepon whatsappnya juga dan nomor
nya sedang berada dalam panggilan lain, pasti saya berpikir dia lagi telponan
sama masa lalunya itu. Soal si Adi yang kemarin sempat saya liat pesannya aja,
dia bilang kalo Ari Cuma mau silaturahim aja. Halah. Mana ada orang mau
silaturahim tapi chatnya kayak gitu. Saya udah seperti orang gila. Saya seperti
dihantui kecemasan soal Dewi”
Dalam situasi saat orang
mengeluarkan apa yang ada dalam benaknya, hal yang saya rasa paling bijak saat
itu adalah mencoba berempati terhadap situasinya. Mencoba mendengar tanpa
memotong pembicaraanya. Biarkan ia mengeluarkan semua isi pikirannya. Sampai
pikirannya tenang.
Saya meyakini walau saat
di warung kopi itu Dodit bilang bahwa hatinya sudah enakan. Namun, ada cerita
yang belum selesai disana. Setidaknya matanya berkata demikian.
Dodit terdiam lama
Saya pernah mendengar di
suatu video soal relationship, bahwa manusia akan mengalami 3 fase jatuh
cinta. Fase pertama adalah fase dimana mereka mulai merasakan ketertarikan
terhadap lawan jenis, bisa dibilang ini adalah cinta pertama. Fase kedua dimana
mereka mulai memiliki hubungan dan merasa memiliki ikatan yang erat. Hingga, di
titik dimana jika ada sesuatu yang mencoba untuk mengancam hubungan mereka, maka
mereka seketika akan menjadi orang yang was-was, dan akan melakukan berbagai
cara untuk menyelamatkan hubungannya. Fase terakhir dari jatuh cinta adalah
orang yang sudah belajar dari hal-hal buruk yang mereka lewati. Mereka lebih
dewasa dalam menghadapi jatuh cinta dan siap sama2 belajar untuk menjadi lebih
baik ke depan. Bisa dibilang ini adalah jatuh cinta terakhir. Semua fase ini
bisa saja dilalui oleh orang yang berbeda pada tiap tahapannya atau bahkan
untuk yang hanya menjalani hubungan dengan satu orang.
Saya tahu Dodit adalah
seorang pria yang dewasa dan ia hanya sedang di kuasai rasa cemburu saat itu,
apalagi mereka yang sudah berhubungan lebih dari 2 tahun. Dodit juga paham hal
itu. Dodit juga sadar kalau sikapnya terhadap Dewi bukan perasaan cinta lagi, melainkan
obsesi semata. Sehingga sikap posesifnya terhadap Dewi membuat hubungan nya
tidak bisa diselamatkan lagi.
Pada akhirnya keduanya
berpisah.
****
Malam senin kemarin, saat
saya berkunjung kerumah Dodit untuk minta izin mencantum kisahnya di blog. Saya
memberitahu konsepnya sambil menceritakan plot kisahnya, agar tidak ada yang
melenceng dari sudut pandang Dodit.
Seperti biasa ia
mempersilahkan saya duduk di kursi panjang depan rumahnya, sembari menawarkan
kopi. Sebelum dia sempat beranjak dari kursi panjangnya saya lebih dulu membuka
percakapan
“Dit, jadi saya pake
ceritamu soal Dewi buat bahan blog saya. Boleh kan?”
“oke, gapapa pake aja, hehehe”
“Oh ya, Dit. Coba
ceritain dikit lagi soal Irma”
Saya jadi teringat dengan
salah satu perempuan yang pernah Dodit ceritakan, perempuan yang sudah pasti
ada di setiap cerita soal Dewi. Perempuan yang menjadi tokoh pembuka di setiap
cerita soal ‘hubungan yang gagal’. Perempuan yang pernah memendam rasa sekian
tahun kepada Dodit. Perempuan yang juga mengajarkan arti penyesalan terhadap Dodit.
Perempuan bernama Irma.
Tiap kali Dodit bercerita
soal kegagalan hubungannya dengan Dewi pasti ia menggumam “Coba saya dulu lebih
cepat tembak Irma”
Dodit mulai membenarkan
posisi duduknya, mencoba mengingat
“Oh iya Irma. Mulai
darimana ni? Saya banyak kenangan kalo sama dia”
Saya tertawa kecil, “yang
berkesan saja, jangan semua.”
Dodit menengadahkan
kepala, melihat ke arah bintang-bintang, berpikir.
Tiba-tiba ia menepuk paha
saya, sontak saya kaget
“Eh, kopinya belum saya
bikin ni. Malah cerita. Bikin kopi dulu ya? Good day?”
“Boleh, apa aja dah Dit”
jawab saya
Setelah itu Dodit pergi
untuk menyeduh kopi, dan kembali lagi sebelum 5 menit.
“Nih, kopinya”
Saya mengambil kopi yang
dibuat dicangkir kecil itu, Ia duduk disebelah saya mulai mengenang kisah soal Irma
“Aduh, dari mana
ceritanya ya? Oh ya dari sini aja….”
****
Dodit berkenalan dengan Irma
setelah Ia menjadi mahasiswa dikampus barunya tahun 2014. Sebenarnya Dodit
adalah teman satu angkatan saya. Kita
berdua sama-sama masuk kuliah di tahun 2012. Ia masuk di kampus negeri di
Mataram dan saya merantau ke Kota Malang. Namun, karena satu dan lain hal Ia
memutuskan untuk Drop Out dari kampus lamanya dan pindah ke kampusnya yang sekarang.
Di sana ia bertemu Irma.
“Jadi Irma itu temen
kelas saya dikampus saya sekarang, tapi dulu anak2 kelas sering manggil saya
pake nama aja termasuk Irma. Eh pas temen saya buka dompet saya. Disana kan ada
KTM saya dikampus yang dulu, dari situ ketauan saya anak 2012.”
“Terus Irma ngomong gini
ke saya ‘saya panggil Kak Dit aja ya?’ gitu, Ki” lanjut Dodit
Dodit menceritakan bagaimana ia semakin intens
berhubungan dengan Irma, Ia sering membantu Irma untuk mengerjakan tugasnya
bersama, kemana-mana pun mereka selalu berdua. Bahkan saat di laboratorium,
Dodit selalu membawa kamera DSLR kakaknya untuk mengambil foto sebagai
dokumentasi dan Irma kerap kali meminta ia untuk mengambil fotonya. Saat itu, Dodit
pikir hal itu hanya permintaan seorang teman saja. Tapi tidak demikian bagi Irma.
Ia diam-diam memendam rasa terhadap Dodit.
Hingga teman-teman
sekelas Dodit yang melihatnya sering berdua mulai menjodoh-jodohkan dirinya
dengan Irma.
“Saya ga tau ya, Ki.
Mungkin karena kita sering bareng pas itu. Makanya temen2 kayak masang2in kita
gitu. Saya sih gapapa ya. Tapi, Irma. Saya takut dia risih waktu itu” Kata
Dodit, menjelaskan
Pernah disuatu momen
dikelas, saat dosen mulai mengabsen mahasiswa dan tiba-tiba saat giliran nama
Dodit yang disebut. Dosen itu berhenti
“Dodit?”
“Hadir, Pak” jawab Dodit
“Sebenarnya saya bisa
baca aura, dan dari aura mu, sepertinya dikelas ini ada yang suka sama kamu”
Entah dosen tersebut sedang bercanda atau
tidak, tiba-tiba seluruh mata mahasiswa di kelas itu tertuju pada Irma. Sorak
sorai anak-anak kelas biologi hari itu membuat suasana kelas menjadi ramai.
Dodit melihat Irma. Begitu pula sebaliknya.
Mereka berdua salah
tingkah.
Walau sudah sering
dijodoh-jodohkan teman sekelas. Namun, tidak membuat mereka semakin dekat.
Malah, Dodit merasa candaan teman kelas tadi hanya akan membuat Irma risih
karena sering dipasangkan dengannya. Oleh karena itu, ia mencoba tidak terlalu
dekat dengan Irma lagi. Semakin lama hubungan keduanya makin renggang hingga
tahap Dodit mulai sering terlihat dekat dengan cewek lain bernama Rena. Sebenernya
menurut Dodit, mereka hanya sering berdiskusi bersama dikelas karena Rena juga
merupakan anak yang pintar dan Dodit sering bertanya ke dia. Hingga teman Irma menghampiri Dodit
“Kak, Irma cemburu liat
kakak sekarang sering berdua sama Rena, dia cerita kesaya loh sampe nangis,
sebenernya saya ga mau cerita juga tapi kak Dodit harus tahu”
Kenyataan bahwa Irma
selama ini memendam rasa sebesar itu ke dia membuat Dodit terdiam lama. Namun,
setelah semua itu Dodit masih saja bingung. Apa yang harus ia lakukan. Apakah
ia harus menyatakan cintanya atau tidak. Di saat yang sama ternyata Dodit mulai
merasakan perasaan yang sama terhadap Irma setelah sering melalui hari-hari
bersama dulu.
Dan setelah momen yang
panjang. Hari dimana penantian lama itu datang ketika Dodit mendapatkan tugas
untuk PPL di Mts salah satu ponpes besar di Lombok Barat.
Sebelum memulai tugasnya
sebagai pengajar ia bersama teman-temanya yang lain memperkenalkan diri
terlebih dahulu ke kepala sekolah Mts tersebut. Dodit memperkenalkan dirinya ke
kepala sekolah yang menyambut mereka.
“Oh Dodit? Biologi angkatan
2014? Temennya Irma ya?” Tanya Kepala
sekolah tersebut, menebak.
Dari sana dodit langsung kaget
“Iya, pak, saya kebetulan
temannya Irma kuliah, Kok Bapak bisa tahu ya?” tanya Dodit, penasaran
“Iya, Irma sering cerita
soal kamu ke Bapak. Saya Bapaknya Irma”
Dodit tidak menyangka
ternyata pria yang didepannya sekarang adalah Ayah dari Irma, wanita yang
akhir-akhir ini mulai menganggu pikiran Dodit. Darisana Ia langsung yakin,
kalau ini saat yang tepat untuk menyampaikan perasaannya terhadap Irma. Jika
Irma sampai menceritakan soal dirinya ke ayahnya berarti sudah tidak perlu
menuggu lama lagi. Ga ada waktu yang lebih tepat selain sekarang, pikir ia.
****
Saya menyeruput kopi yang
sudah disediakan Dodit tersebut sembari mendengar kisah yang ia ceritakan.
“Saya beraniin diri, Ki.
Saya tembak dia sambil kirimin lagu akadnya payung teduh, waktu itu lagu akad
lagi rame.”
“Tapi sayangnya dia
bilang gini ‘kakak Dit, maaf ya coba dari dulu kakak bilang. Sekarang udah
terlambat, saya udah dekat sama orang lain’.
Duh, langsung galau saya, Ki. Asli. Kalau saya ga ada kegiatan dikampus
dulu paling udah saya diem aja di kamar. Asli lemes saya. Nyesel saya. Makanya
gara-gara itu saya sekarang lebih cepat kalo PDKT.” lanjut Dodit
“Makanya, kamu langsung
cepet nembak Dewi waktu itu? Setelah sama Irma gagal? ” Tanya saya
“Iya, saya ga mau kasus
yang sama terulang”
Saya menyeruput lagi kopi
good day yang sudah mulai dingin tersebut
“Apalagi ya yang lain, oh
ya kamu ingat pas gempa lombok ? Saya yudisium kan pas itu, barengan sama Irma
dan beberapa temen yang lain. Itu lagi gempa lho, pas yudisium. Pagi-pagi itu.
Irma duduk disebelah saya kan. ”
Tiba-tiba Dodit
menggenggam tangan saya. Iya, menggenggam, menirukan dengan persis cara Irma
menggenggam tangan Dodit saat itu.
“Gini cara Irma megang
tangan saya”
Sambil menirukan gaya Irma, Dodit berkata “kak Dit
jangan lepasin tangan adek ya. Kak Dit jangan pergi”
Dodit mulai menirukan
gaya Irma yang pada saat itu sedang ketakutan lengkap dengan suaranya yang
dibuat se feminim mungkin. Saya mulai panik, ngeliat keadaan sekitar. Pengen
saya tonjok mukanya.
Saya berusaha melepaskan
genggaman tangan Dodit tapi dia malah menggenggam tangan saya makin erat.
“Diem dulu, biar kamu
ngerti suasananya. Gimana rasanya Irma panik hari itu”
Hey ini bukan Irma lagi yang
panik! Saya lebih panik, habis ini kalo ada yang liat di Rajam kita berdua
Genggaman itu merupakan cerita
terakhir antara Dodit dan Irma. Genggaman tangan terakhir dari orang yang
pernah dekat. Genggaman dari mereka berdua yang pernah memiliki rasa yang sama
namun sama-sama tidak berani mengungkapkan. Genggaman yang tetap tak bisa
membuat garis takdir menyatukan mereka.
Irma saat ini sudah menikah dengan lelaki lain.
****
Sebelum ijin pulang untuk
merangkum kisah Dodit. Sebuah motor berhenti tepat didepan rumahnya. Seorang
wanita berjilbab tampak berhenti di pagar rumah Dodit. Wanita yang saat ini
dekat dengan Dodit.
“Kak, ada kak Ita
disana?” tanya wanita diluar rumah Dodit tersebut
“Ndak ada, sudah
berangkat barusan”
Mereka berdua saling
bertatapan dan tersenyum
“Oh iya udah. Mari kak”
Jawab wanita tadi
Saya giliran menepuk paha
Dodit, “itu pasti fitri kan?”
Dodit hanya mengangguk
kecil,
“Iri saya sama kamu, Dit.
Masak saya harus melewati semua sakit hati itu biar dapet yang kayak Fitri”
“Yah suka ga suka. Itu
aturannya, Ki”
Kita berdua tertawa
dibawah langit penuh bintang di malam
itu.
****
Dari semua kisah yang
Dodit pernah lalui. Rasa sakit itu. Perasaan yang terlambat diungkapkan. Bagaimana
Dodit kehilangan kesempatannya saat bersama Irma. Lalu, saat ia mulai belajar
untuk menyatakan perasaannya lebih awal kepada Dewi, ternyata orang tersebut
belum bisa melupakan masa lalunya.
Saya jadi tersadar akan
satu hal. Bahwa perdebatan antara dicintai atau mencintai seharusnya tidak perlu
terlalu dipusingkan. Pada akhirnya kedua hal itu hanya bagian awal dari sebuah
kisah cinta.
Memilih untuk tidak
percaya akan cinta juga bukan jawaban dari setiap patah hati. Dalam kasus Dodit
ia menemukan cara untuk menyembuhkan hatinya. Menyembuhkan hati yang sempat
menutup diri untuk menerima cinta. Dodit sadar bahwa yang bisa menyembuhkan
hatinya dari rasa sakit pada akhirnya adalah membuka hatinya kembali.
Menerima cinta yang baru.
0 comments:
Posting Komentar
Komentar Chillies Family